GxzUBrBMEEakW66FSTGICNpZ9jjSH2aNOIf0tajj
Bookmark

Fiqih Zakat (14)

بسم الله الرحمن الرحيم
wCEAAkGBxMTEhUTExIVFhUXGBUXFxcYFxgXGBcXFxUXFxcXFRcYHSggGBolHRcVITEhJSkrLi Fiqih Zakat (14)
Fіԛіh Zаkаt (14)
Sеgаlа рujі bаgі Allаh Rаbbul 'аlаmіn, ѕhаlаwаt dаn ѕаlаm ѕuрауа dіlіmраhkаn tеrhаdар Rаѕulullаh, kеluаrgаnуа, раrа ѕаhаbаtnуа, dаn оrаng-оrаng уg mеngіkutіnуа hіnggа hаrі аkhіr zаmаn, аmmа bа'du:
Bеrіkut lаnjutаn реmbаhаѕаn реrіhаl fiqih zakat yg banyak merujuk terhadap kitab Fіԛhuѕѕunnаh kаrуа Sуаіkh Sаууіd Sаbіԛ, semoga Allah menimbulkan penyusunan risalah ini lapang dada alasannya adalah-Nya dan berfaedah, ааmіn.
Al Malul Mustafad (Harta Yang Baru Diperoleh)
Barang siapa yang memperoleh harta yang berlaku haul (waktu setahun hijriyah) – tetapi ia tidak mempunyai harta disamping itu – dan harta itu telah mencapai nishab, atau ia mempunyai harta yg sejenis yang tidak meraih nishab, dan ketika digabungkan dengan harta yang baru diperoleh itu ternyata meraih nishab, maka ketika ini dimulai haulnya. Saat telah sempurna haulnya, maka mesti dikeluarkan zakatnya.
Jika seseorang mempunyai harta senilai nishab, maka harta yg gres diperoleh tidak lepas dari tiga keadaan ini:
1. Harta yg gres diperoleh itu termasuk pertumbuhannya, mirip laba dari jual beli dan binatang betina melahirkan, maka hal ini mengikuti barang asalnya dalam haul dan zakatnya.
Oleh sebab itu, semua orang yang memiliki barang-barang jual beli  atau binatang yg meraih nishab, kemudian barang barang jualan itu menciptakan keuntungan, dan binatang itu melahirkan dikala menjalani haul, maka wajib dikeluarkan zakatnya dari keseluruhannya, yakni harta yang berasal dan harta yang gres diperoleh. Dalam hal ini tidak ada khilaf.
2. Harta yang baru diperoleh termasuk jenis harta sebelumnya yang telah mencapai nishab –tetapi bukan turunan atau terlahir dari harta asal-, yaitu ia memperolehnya contohnya melalui jual-beli, menerima hibah, atau warisan.
Dalam hal ini Abu Hanifah berpendapat, bahwa harta yang gres diperoleh digabungkan dengan harta yang telah mencapai nishab, sehingga mengikutinya dalam hal haul dan zakat, dan harta yg baru diperoleh dikeluarkan zakatnya bareng harta asalnya.
Menurut Syafi’i dan Ahmad, harta yang baru diperoleh itu mengikuti harta asalnya dalam hal nishab dan memulai lagi dengan haul yang gres, baik harta asalnya berbentukmata uang maupun hewan. Misalnya seseorang mempunyai 200 dirham, kemudian di sela-sela menjalani haul ia memperoleh harta lainnya, maka ia keluarkan zakatnya dari keduanya dikala sempurna haulnya.
Adapun Imam Malik, maka dia sependapat dengan Abu Hanifah dalam hal binatang, dan sependapat dengan Syafi’i dan Ahmad dalam hal mata duit.
3. Harta yg gres diperoleh tidak sejenis dengan harta yang ada padanya.
Dalam hal ini tidak digabungkan baik dalam hal haul maupun nishab. Bahkan bila harta yang baru ini telah mencapai nishab, maka harta ini menjalani haulnya sendiri. Selanjutnya di simpulan tahun beliau keluarkan zakatnya. Jika tidak meraih nishab, maka tidak dikenakan apa-apa. Demikianlah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Wajibnya zakat pada dzimmah (tanggungan); bukan tertuju pada harta itu
Madzhab ulama Hanafi, Malik, dan salah sesuatu riwayat dari Syafi’i dan Ahmad, bahwa keharusan zakat tertuju terhadap harta itu.
Namun dalam riwayat yang lain dari Syafi’i dan Ahmad, bahwa keharusan zakat tertuju kepada tanggungan (dzimmah) pemilik harta; bukan tertuju terhadap harta yang kena zakat itu.
Buah dari perbedaan ini terlihat jelas, misalnya seseorang mempunyai 200 dirham dan sudah berlalu dua kali haul tanpa dikeluarkan zakatnya, ialah:
Ulama yg berpendapat bahwa kewajiban zakat tertuju terhadap harta, maka dia mengatakan, bahwa harta itu dikeluarkan zakatnya bagi setahun saja, alasannya setelah tahun pertama hartanya telah menyusut dari nishab sebab dikeluarkan 5 dirham.
Tetapi ulama yg beropini, bahwa keharusan zakat berupa dzimmah (tanggungan), maka beliau menyampaikan bahwa orang itu mesti mengeluarkan zakat beberapa kali, dimana setiap tahunnya ada zakat yang harus dikeluarkan, karena keharusan zakat terrtuju terhadap tanggungan, dan tidak ada pengaruhnya ketika berkurang dari nishab.
Ibnu Hazm menguatkan pendapat wajibnya tertuju terhadap dzimmah (tanggungan), ia berkata, “Tidak ada perbedaan di antara seorang pun dari umat ini dari zaman kita ke belakang sampai zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa barang siapa yg terkena keharusan zakat gandum, sya’ir, kurma, emas, unta, sapi, atau kambing, lalu ia keluarkan zakatnya dari selain tumbuhan itu, atau selain kurma itu, atau selain emas dan perak itu, atau selain unta, sapi, atau kambing itu, maka tidak terlarang dan tidak dimakruhkan, bahkan sama saja baginya baik beliau mengeluarkan dari harta itu, atau yg ada padanya dari selain itu, atau dari yang beliau beli, atau dari hibah, atau dari perlindungan, sehingga makin yakinlah bahwa zakat tertuju kepada dzimmah; bukan terhadap ‘ain (harta itu), karena jikalau tertuju terhadap harta itu, maka tidak halal baginya buat menyerahkan dari selainnya, bahkan mesti dicegah melaksanakan hal itu sebagaimana dicegah orang yang memiliki sekutu kepada sesuatu memberikannya terhadap sekutunya bukan berupa harta itu, dimana mereka bersekutu padanya kecuali dengan keridhaan keduanya dan dihukumi jual beli.
Demikian juga bila sekiranya zakat tertuju kepada harta itu, maka tidak lepas dari dua kemungkinan saja tanpa ada yang ketiga, adalah zakat pada setiap bagian-bagiannya dari harta itu, atau zakat pada barang itu, tetapi bisa dibayarkan dengan selain barang itu.
Jika pada setiap bab dari barang itu, pasti haram baginya memasarkan pokoknya, benih atau di atasnya, alasannya adalah orang yg menerima zakat bersektu dalam bab itu, dan pasti haram baginya mengkonsumsi sesuatu daripadanya karena argumentasi yang telah kami sebutkan. Hal ini tentu batil tanpa ada khilaf lagi. Demikian juga mengakibatkan seseorang tidak mengeluarkan zakat kambing kecuali dengan nilai yang telah diperbaiki dengan apa yang ada atau sisanya sebagaimana yang dilakukan pada sesuatu yang disekutui, dan jikalau zakat harus pada pada sebuah barang tetapi tidak dengan barang itu, maka menjadi batal. Hal ini mengharuskan hal itu secara sama. Karena ia tidak tahu, boleh jadi ia menjual atau memakan sesuatu yg merupakan hak orang yg menerima zakat, sehingga menjadi tampak benar secara percaya usulan kami (Ibnu Hazm) sebelumnya (yakni zаkаt tеrtuju tеrhаdар dzіmmаh/tаnggungаn).
Ketika harta binasa setelah wajibnya zakat namun belum dibayarkan
Apabila telah tetap wajibnya zakat pada suatu harta, ialah telah berlau setahun atau telah datang waktu  memanennya pada tanaman, tetapi harta binasa sebelum dibayarkan atau sebagiannya, maka semua zakatnya ditanggung oleh pemilik harta, baik harta itu binasa sebab keteledorennya atau tidak.
Ini juga maksud bahwa zakat wajib pada dzimmah (tanggungan) yang ialah pertimbangan Ibnu Hazm dan pertimbangan yang masyhur dari Imam Ahmad.
Menurut Abu Hanifah, bahwa kalau semua harta binasa tanpa ada keteledoran dari pemiliknya, maka gugurlah keharusan zakat, tetapi bila sebagiannya saja yg binasa, maka gugurlah bab itu, sebab didasari dikaitkannya zakat dengan harta itu sendiri. Tetapi seandainya harta binasa karena keteledorannya, maka zakat tidak gugur.
Menurut Syafi’i, Al Hasan bin Shalih, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir, bahwa kalau harta yang meraih nishab binasa sebelum mampu dibayarkan, maka gugurlah zakat itu, namun kalau binasa setelahnya (sehabis mampu dibayarkan), maka tidak gugur. Ibnu Qudamah merajihkan (menguatkan) usulan ini, dia berkata, “Yang shahih insya Allah, bahwa zakat gugur alasannya harta binasa bila beliau tidak meremehkan dalam membayarkan, alasannya adalah zakat wajib untuk menolong, tidak wajib yg sifatnya tetap meskipun tidak ada harta dan miskinnya orang yang terkena keharusan ini.
Maksud ‘meremehkan’ yaitu saat seseorang mampu mengeluarkannya, namun tidak ia keluarkan. Jika kenyataannya tidak mampu mengeluarkan, maka tidak dianggap ‘meremehkan’, baik alasannya adalah tidak ada mustahik, jauhnya harta darinya, atau karena yang diputuskan tidak ada pada harta, atau butuh berbelanja, tetapi dia tidak menerima buat membelinya, atau berada dalam tuntutan bagi membeli, dsb.
Jika kami katakan wajib zakat walaupun harta sudah binasa, bila pemiliknya bisa membayarkannya, maka dia bayarkan. Jika tidak, maka diberi tangguh sampai gampang dan mampu membayarnya tanpa menyusahkannya, alasannya adalah sebagaimana wajib memberi tangguh hutang manusia, maka karena zakat adalah hak Allah, pasti lebih berhak lagi bagi diberi handal.
Hilangnya zakat sehabis dipisahkan
Jika harta zakat telah dipisahkan untuk diserahkan terhadap mustahiknya, dahulu hilang seluruhnya atau sebagiannya, maka ia mesti mengulanginya, alasannya adalah zakat itu dalam tanggungannya sampai ia berikan terhadap orang yg ditugaskan Allah untuk diberikan.
Ibnu Hazm berkata, “Telah diriwayatkan terhadap kami dari jalur Ibnu Abi Syaibah dari Hafsh bin Ghiyats, Jarir, Mu’tamir bin Sulaiman At Taimi, Zaid bin Habbab, dan Abdul Wahhab bin Atha.
Hafsh berkata, “Dari Hisyam bin Hassan, dari Al Hasan Al Bashri.”
Jarir berkata, “Dari Mughirah, dari mitra-kawannya.”
Mu’tamir berkata, “Dari Ma’mar dari Hammad,”
Zaid berkata, “Dari Syu’bah dari Al Hakam.”
Abdul Wahhab berkata, “Dari Ibnu Abi Arubah, dari Hammad, dari Ibrahim An Nakha’i.”
Selanjutnya mereka setuju terkait orang yg mengeluarkan zakat hartanya, lalu hilang, bahwa zakat itu belum gugur darinya. Oleh alasannya itu, ia mesti mengeluarkan bagi yang kedua kalinya.”
Ibnu Hazm berkata, “Namun kami juga meriwayatkan dari Atha, bahwa zakat (yg hilang) itu telah cukup.”
Menunda Zakat tidak menciptakan zakat itu gugur
Barang siapa yang berkewajiban zakat dan telah berlalu beberapa tahun, tetapi dia belum mengeluarkan zakatnya, maka beliau harus mengeluarkan zakat dari semuanya, baik beliau mengenali wajibnya zakat atau pun tidak, dan baik dalam kawasan Islam maupun kawasan perang. Ini ialah madzhab Syafi’i.
Ibnul Mundzir berkata, “Kalau sekiranya orang-orang zalim menguasai sebuah negeri, dan penduduk negeri itu tidak mengeluarkan zakat bertahun-tahun, kemudian imam (pemerintah) menguasai mereka, maka dia ambil dari mereka zakat yg sudah kemudian. Demikian menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Abu Tsaur.”
Bersambung...
Wаllаhu а’lаm, wа Ñ•hаllаllаhu ‘аlаа nаbіууіnаа Muhаmmаd wа ‘аlаа ааlÑ–hÑ– wа Ñ•hаhbÑ–hÑ– wа ѕаllаm.
Marwan bin Musa
MаrаjÑ–’: FÑ–Ô›huÑ• Sunnаh (Syaikh Sayyid Sabiq), Tаmаmul MÑ–nnаh (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Mаktаbаh SуаmÑ–lаh mоdеl 3.45, dll.
Posting Komentar

Posting Komentar